Oleh: Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi
Penulis buku bahaya Syiah
Dewasa ini kesadaran umat Islam atas bahaya Syiah menjadi pemandangan jamak di berbagai daerah. Di berbagai kesempatan, tabligh akbar dan majelis-majelis untuk menjelaskan bahaya ajaran Syiah serempak dihelat di berbagai provinsi dan kota dengan melibatkan ormas-ormas Islam. Terlebih dengan keluarnya buku Majelis Ulama Indonesia (MUI) Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia menjadi jawaban atas pertanyaan berbagai pihak tentang kejelasan sikap MUI terhadap aliran sesat ini. Tentu, fenomena ini patut kita syukuri karena umat Islam sudah lama menjadi santapan Syiah yang menggerogoti sendi-sendi vital ajaran Islam.
Namun, di balik jerih payah para ulama membentengi akidah umat dari bahaya Syiah, masih saja opini dihembuskan untuk mengaburkan problematika Syiah di Indonesia. Dari mulai upaya memecah belah, merusak ukhuwah, hingga “korban” dari adu domba intelijen. Kita tentu sangat memahami jika opini ini sengaja dilancarkan oleh kelompok Syiah. Tetapi, sangat disayangkan jika ada umat Islam yang termakan opini ini.  Bahkan di sebuah tabloid muslim, penulis masih mendapati adanya paragraf seperti ini:
Meski begitu harus disadari bahwa konflik Sunni-Syiah di panggung internasional sebenarnya bukan semata perbedaan tafsir agama, atau konflik  mazhab semata. Konflik Sunni-Syiah semakin membara karena memang ada operasi intelijen Barat dan Mossad yang mengadu domba sesama umat agar terjadi perpecahan dan melemahkan perlawanan Islam terhadap dominasi Barat dan kepentingan Zionisme Internasional.
Umat Islam Terprovokasi Intelijen?
Sungguh, menjadikan intelijen sebagai dalang adanya penolakan Syiah adalah kesimpulan yang sangat prematur dan jauh dari kenyataan. Dalam kesempatan bedah buku di berbagai kota, penulis menyaksikan animo penolakan umat atas Syiah murni lahir dari pembacaan mereka terhadap kitab-kitab (atau ajaran) Syiah yang menyelisihi  Ahlussunah. Sangat sulit membayangkan jika diam-diam para ulama kita dibiayai oleh Mossad ataupun CIA untuk mengkritik ajaran Syiah. Sedangkan mereka adalah para ulama yang terkenal ikhlas, tulus, dan mencintai kebenaran. Sangat tidak masuk di akal jika ternyata sekolompok anak muda di Sidogiri terprovokasi oleh intelijen untuk membantah buku Quraish Shihab. Sedangkan mereka terkenal sebagai intelektual muslim yang membantah secara elegan dan ilmiah syubhat Quraish Shihab.
Sejujurnya, kesadaran ulama dan umat Indonesia atas bahaya gerakan Syiah, bukanlah fenomena baru. Dia tidak lahir satu-dua tahun belakangan-jika standaranya adalah meletusnya Revolusi Suriah. Pada April 1993, para ulama dari Negara-negara Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura) berkumpul di Brunei Darussalam membicarakan tentang paham Syiah dalam satu forum bertajuk “Seminar Akidah”. Dari Indonesia diwakili KH. Ilyas Ruhyat (Rais Amm PBNU), KH. Azhar Basyir (Ketua Umum Muhammadiyah), dan KH. Hasan Basri (Ketua MUI Pusat).
Kholili Hasib dalam bukunya Menghadang Ekspansi Syiah di Nusantaramengatakan, Ijtima’ Ulama Asia Tenggara tersebut memutuskan dua hal penting. Pertama: Umat Islam di empat Negara ini adalah Sunni. Baik Malaysia, Indonesia, Singapura, Brunei adalah Sunni. Bukan Syi’i. Kedua: Semua sepakat pada waktu itu, madzhab mereka adalah madzhab Syafi’i, namun diizinkan untuk pindah dari madzhab Syafi’i, tetapi tidak keluar dari salah satu madzhab yang empat. Aliran Syiah dilarang.
Pada tahun 1997, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga menerbitkan surat edaran tentang kewaspadaan terhadap aliran Syiah. Surat edaran bernomor 724/A.II.03/10/ 1997 menyeru kepada kaum Muslimin untuk memahami secara jelas perbedaan prinsipil antara Ahlussunnah wal Jama’ah dengan aliran Syiah.
Maka, mungkinkah para ulama di MUI dan PBNU telah menjadi korban adu domba intelijen karena secara gigih menjelaskan kesesatan Syiah kepada umat? Maklumat mereka pun lahir jauh dari pecahnya Revolusi di Suriah yang kerap dituding kelompok Syiah sebagai hasil dari “konspirasi” Zionisme,meski fakta membuktikan justru sebaliknya.
Maka tidak heran, pasca pertemuan MUI dengan para ulama di Asia Tenggara, pada 21 September 1997, para ulama di Indonesia menggelar seminar Nasional tentang Syiah di Masjid Istiqlal. Salah satu pembicara dalam seminar itu adalah KH. Irfan Zidny, Rais Syuriah PBNU saat itu.
Tampil dengan makalah berjudul Bunga Rampai Ajaran Syiah, KH. Irfan Zidny, Ulama sekaligus pakar syariat Islam ini tampak serius mengeluarkan argumentasi untuk menunjukkan kesesatan Syiah. Dengan mengutip pendapat Hujjatul Islam Al Ghazali, beliau menyinggung sebuah kalimat yang sangat menarik di hadapan seribu peserta yang memadati Masjid Istiqlal, “Untuk mengetahui kesesatan aliran, sebelum lebih dahulu mengetahui tentang hakikat aliran tersebut, maka hal tersebut adalah tidak mungkin (muhal), bahkan hal demikian itu termasuk sikap yang ngawur dan sesat.” (Harian Terbit, tertanggal 25 September 1997)
Beliau berkata seperti itu karena memahamai betul “tulang” dan “kulit” Syiah. Sebab beliau menjadi saksi hidup saat belajar “satu bangku” dengan ulama-ulama Syiah, tinggal bersama masyarakat syiah, bergaul dengan mereka, dan itu dijalaninya selama 18 tahun!
Maka dari seminar tersebut dihasilkan 10 keputusan sebagaimana terangkum dalam buku Mengapa Kita Menolak Syiah. Pertama, mendesak Pemerintah Republik Indonesia, Kejaksaan Agung RI, agar melarang paham Syiah di seluruh wilayah Indonesia, karena selain telah meresahkan masyarakat, juga merupakan suatu sumber destablisiasi kehidupan bangsa dan Negara Indonesia, karena tidak mungkin Syiah bersikap loyal pada pemerintah Indonesia karena dalam ajaran Syiah tidak ada konsep musyawarah melainkan keputusan mutlak dari imam.
Kedua, memohon kepada Kejaksaan Agung RI dan seluruh jajaran pemerintah terkait agar bekerja sama dengan MUI dan Balitbang Depag RI untuk meneliti buku-buku yang berisi faham Syiah dan melarang peredarannya di seluruh Indonesia.
Ketiga, mendesak kepada pemerintah Indonesia, menteri Kehakiman RI agar segera mencabut izin semua yayasan Syiah atau yang mengembangkan ajaran Syiah di Indonesia.
Keempat, meminta kepada pemerintah, Menteri Penerangan RI agar mewajibkan pada semua penerbit untuk melaporkan/menyerahkan contoh dari semua buku-buku terbitannya kepada MUI Pusat untuk selanjutnya diteliti.
Kelima, mengingatkan kepada seluruh organisasi Islam, lembaga-lembaga pendidikan di seluruh Indonesia agar mewaspadai faham Syiah yang dapat mempengaruhi warganya.
Keenam, mengajak kepada seluruh masyarakat Islam Indonesia agar senantiasa waspada terhadap aliran Syiah, karena faham Syiah, kufur sesat dan menyesatkan.
Ketujuh, menghimbau kepada segenap kaum wanita agar menghindarkan diri dari praktek nikah mut’ah yang dilakukan dan dipropagandakan oleh pengikut Syiah.
Kedelapan, menghimbau semua media massa dan penerbit buku untuk tidak menyebarkan faham Syiah di Indonesia.
Kesembilan, menghimbau kepada pemerintah RI untuk melarang kegiatan penyebaran Syiah di Indonesia oleh kedutaan Iran.
Kesepuluh, secara khusus mengharapkan kepada LPPI agar segera bekerja sama dengan MUI dan Departemen Agama untuk menerbitkan buku panduang ringkas tentang kesesatan Syiah dan perbedaan-perbedaan pokoknya dengan Ahlussunnah.
Jadi, melihat sepuluh butir ini dan kajian mendalam atas ajaran Syiah, maka mungkinkah penolakan besar-besaran umat atas Syiah adalah hasil konspirasi intelijen?
Tudingan Adu Domba Intelijen: Siapa teriak Siapa?
Justru, kalau kita mau membuka sejarah dan meneliti lebih mendalam, upaya Zionis dan Barat dalam bekerjasama dengan Syiah bukanlah barang baru. Behrouz Souresrafil, dalam bukunya Khomeini and Israel mencatat Iran menghabiskan dana hingga 500 juta US Dollar guna membeli peralatan perang dari Israel sepanjang tahun 1980 hingga 1983. Souresrafil mengungkapkan Iran turut andil dalam serangan Israel terhadap reaktor Nuklir Tammuz milik Irak pada tahun 1981. Berdasarkan data intelejen yang disuplai CIA, reaktor nuklir Irak dijadwalkan mulai beroperasi pada Desember 1981. Israel hanya punya waktu beberapa bulan saja dalam menghancurkan reaktor nuklir Irak. Tanpa diduga, pada September 1980, Jet F4 Phantom Iran menyerang reaktor nuklir Irak pasca perang Iran-Irak meletus.
Bahkan kerjasama masyhur di antara Syiah dan Barat adalah skandal Iran Contra yang melibatkan Khomeini dan Ronald Reagean. Skandal Iran Contra adalah tragedi yang sangat menampar Iran, Amerika Serikat (AS), dan Israel sekaligus membongkar simbiosis mutualisme antara Syiah dengan gerakan Zionis internasional.
Lewat investigasi berkepanjangan, akhirnya skandal Iran Contra ini terbongkar. Reagan dianggap menjurus pada tindakan kriminal, terlebih telah melibatkan CIA dan Partai Republik dengan seluruh kegiatannya menjalin hubungan dengan Iran. Reagan akhirnya membuat pernyataan resmi kepresidenan tentang hubungan AS-Iran. Dikatakan tidak ada masalah apa pun dalam hubungan kedua negara. Negeri ini juga tidak lagi memberi indikasi teror yang mengancam AS. Dan, hingga kini, “kedekatan” ini terus berlangsung.
Maka tidaklah heran dalam melihat kemesraan antara Syiah dan Amerika serikat di Irak. Ketika terpilih menjadi Perdana Menteri Irak, Nouri Al Maliki mulai menjalankan kebijakan yang pro AS. Nouri Al Maliki menjadi perdana menteri yang menjaga kepentingan-kepentingan AS di Irak. Berkali-kali Nouri Al Maliki dan George Bush melakukan pertemuan untuk bersama-masa menjaga stabilitas Irak.
Sebuah kajian dari Syaikh Abu Ubaidah Abdullah bin Khalid Al-’Adam sangat menarik untuk ditelaah. Kajian dengan judul Shahwat Ar-Riddah was Sabil li-Man’iha (Gerakan Kebangkitan Kemurtadan dan Cara Mencegahnya) itu mengungkapkan bagaimana skenario licik Amerika dan Syiah dalam menguasai Irak.
Syaikh Abu Ubaidah menjelaskan awal mula jalinan blok Barat dan Syiah menguasai Irak pasca jatuhnya Rezim Sosialisme Saddam Hussain. Pada saat itulah, Lewis Bremer, mantan Dubes AS untuk Belanda, mulai membubarkan semua lembaga pemerintahan sipil dan militer Irak peninggalan Saddam Hussain. Pada saat bersamaan Bremer membentuk lembaga pemerintahan ‘boneka’ baru yang akan menjadi pelayan kepentingan AS dan Barat di Irak. Dalam hal itu Lewis Bremer harus mengangkat boneka-boneka sipil dan boneka-boneka militer di Irak.
Bagi AS, bangkitnya perlawanan Jihad yang digerakkan oleh kelompok Islam harus cepat dibabat habis. Dan, mengandalkan Syiah adalah cara ampuh dalam hal ini. Sebab sejatinya Syiah dan AS dapat bergandeng bersama menghadapi kelompok Islam. Kebencian mereka kepada Ahlussunah wal jama’ah berjalan beriring untuk menyusun taktik menjadikan Irak sepenuhnya dikuasai oleh Syiah.
“Kami telah membuktikan keberhasilan. Tidak ada yang membayangkan bahwa kami akan berhasil mengalahkan terorisme,” kata Maliki saat bertemu Obama di Gedung Putih, 12 Desember 2011. Khas kelompok Syiah militant yang apa-apa selalu menuduh kelompok perlawanan Islam sebagai teroris.
Dengan segala fakta ini kita patut bertanya benarkah Ahlussunah dimanfaatkan intelijen dalam memperkokoh ajarannya dari bahaya Syiah? Jadi, siapa teriak siapa?
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: